Sabtu, 18 Mei 2013

Tata Pemerintahan Berdasarkan UUDS 1950


Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Konstitusi ini sebenarnya merupakan perubahan konstitusi federal. Dari segi materi, konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia ini merupakan perpaduan antara konstitusi federal milik negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan konstitusi yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia, sebagai hasil persetujuan RIS dan RI tanggal 19 Mei 1950. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959. Setelah konstitusi Ris, pada tanggal 17 agustus 1950 indonesia resmi menjadi negara kesatuan republic Indonesia, walaupun sebenarnya masih ada unsure federal pada masa ini.
Walaupun masih menggunakan Undang-undang dasar sementara(UUDS) tahun 1950, dan sistem pemerintahan waktu itu masih menggunakan sistem parlementer, yaitu mentri-mentri( kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan cabinet dengan mosi tidak percaya, sedangkan posisi presiden disini hanya sebagai kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen. Cabinet dipimpin oleh perdana mentri. Dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 menyatakan bahwa Negara republic indonseia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic. Sedangkan untuk melaksanakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat serta pendelegasian wewenang diselenggarakan desentralisasi atau otonomi daerah. Kemudian di jelaskan pada pasal 131 disebutkan yaitu pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan oleh undang-undang.
Indonesia seperti yang di ketahui baru memulai pemilu pada tahun 1955. Sehingga sebelumnya tugas DPR dilaksanakan oleh Komite Nasional Indonesia pusat. UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan demokrasi barat dengan sistem kabinet parlementer. Di pemilu di tahin 1955 (pemilu yang pertama) timbul lembaga negara yaitu konstituante aatu di DPR dari hasil pemilu yang pertama ini. Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17 Agustus 1950- 5 Juli 1959 menurut UUDS pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Menteri-menteri
3. Dewan Perwakilan Rakyat
4. Mahkamah Agung
5. Dewan Pengawas Keuangan.
Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bahwa sudah ada pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara dibantu oleh wakil presiden, sedangkan mentri sebagai eksekutif/ pelaksana pemerintahan. Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950 ”Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-mentri yang lain. Mentri-mentri beratanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Sebagai kepala negara berdasarkan pasal 84 presiden berhak untuk membubarkan DPR. ”Kekuasaan legeslatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950). Dewan Perwakilan Rakyat dipilih untuk masa 4 tahun. Dan keanggotan DPR tidak dapat dirangkap oleh lembaga lainnya, hal ini agar tidak tumpang tindih dalam pembagian kekuasaan. Seorang anggota DPR yang merangkap dalam lembaga lainnya tidak boleh mempergunakan hak dan kewajiban sebagai anggota badan tersebut selama ia memangku jabatan ganda. Dalam wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang kepada pemerintah dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang maka mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden.
Menurut konstitusi sementara, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [Pasal 44, 45, 46 (1), 47, dan 48]. Presiden dan wakil presiden dipilih menurut UU dengan syarat tertentu [pasal 45 (3) dan (5)]. Tidak ada masa jabatan yang jelas bagi lembaga ini, namun dari sifat konstitusi sementara [pasal 134 dan penjelasan konstitusi], jabatan ini dipertahankan hingga ada lembaga baru menurut konstitusi tetap yang disusun oleh Konstituante. Sebelum menjalankan tugasnya presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan DPR [pasal 47].
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi (Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950). Sebagai lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup. Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa ” Mahkamah Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”. Selain sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden.
Sama seperti konstitusi federal, konstitusi sementara mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Dalam sistematika konstitusi sementara hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal dalam konstitusi. Menurut konstitusi sementara (secara khusus[4]):
1. Presiden dan wakil presiden adalah alat perlengkapan negara [pasal 44];
2. Presiden dan wakil presiden berkedudukan di tempat kedudukan pemerintah [pasal 46 (1)];
3. Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara [pasal 45 (1)];
4. Wakil presiden membantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya [pasal 45 (2)];
5. Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden tidak mampu melaksanakan kewajibannya [pasal 48];
6. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu-gugat dan seluruh pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 83 dan 85];
7. Presiden dan wakil presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar negara, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara maupun daerah otonom, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 55 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 55 (4)];
8. Presiden dan wakil presiden maupun mantan presiden dan mantan wakil presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 106 (1)];
9. Hal keuangan presiden dan wakil presiden diatur dengan UU [pasal 54];
10. Presiden membentuk kabinet [pasal 50 dan 51];
11. Presiden menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 53];
12. Presiden dan wakil presiden menerima pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 52 (2)];
13. Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 63];
14. Presiden mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPR [pasal 62 (1)];
15. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 90 (1), 92, 93, dan 94 (3)];
16. Presiden berhak membubarkan DPR dan memerintahkan pembentukan DPR baru [pasal 84];
17. Presiden menyaksikan pelantikan anggota Konstituante, dan mengesahkan pemilihan Ketua dan Wakil-wakil ketua Konstituante [pasal 136];
18. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 140 (2)];
19. Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung atas permintaan sendiri [pasal 79 (4)];
20. Presiden memberi grasi, amnesti, dan abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung [pasal 107];
21. Presiden memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan atas permintaan sendiri [pasal 81 (4)];
22. Presiden memberi tanda kehormatan menurut UU [pasal 87];
23. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 123];
24. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU [pasal 120];
25. Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 127];
26. Presiden menyatakan perang dengan persetujuan DPR [pasal 128];
27. Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 129 (1)].

Tidak ada komentar: