Kamis, 18 Desember 2014

Aku Bisa dengan Bidikmisi



Aku lahir di tengah sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ayahku tukang sol sepatu, ibuku buruh tani yang hanya bekerja saat musim panen tiba. Aku bersekolah di sebuah SMK di kota Salatiga. Harapannya, setelah lulus nanti dapat langsung bekerja layaknya iklan yang ada di televisi bahwa SMK Bisa! Itu harapan orangtuaku. Lalu, apa mimpiku? Aku ingin lanjut kuliah. Tapi aku harus sadar bahwa orangtuaku tidak dapat mewujudkannya. Jadi aku berpikir, aku harus bisa lulus dengan nilai baik lalu bekerja, mengumpulkan uang untuk dapat kuliah tanpa membebani orangtua. Tapi di tahun terakhir masa SMK, ada angin segar yang mungkin dapat memberiku kesempatan untuk berkuliah. Bidikmisi. Kalian pasti tahu itu. Mendaftar lewat jalur undangan tidak lolos. Aku pikir itu belum rejekiku. Tapi Allah itu baik, seorang kawan mengabarkan bahwa masih ada jalur ujian tapi tetap harus membayar biaya pendaftaran, waktu itu Rp150.000 dan batas pembayaran terakhir adalah esok hari. Bersemangat, aku ceritakan kepada orangtuaku. Tapi apa kata beliau, “uang segitu dapat dari mana kalau harus ada besok?”. Baiklah, lagi-lagi aku berfikir memang ini bukan jalanku. Keesokan hari aku berangkat sekolah seperti biasa, waktu itu sudah tidak ada pelajaran efektif. Aku terkejut ketika ayahku datang mencariku ke sekolah. Beliau mengantarkan uang Rp150.000 yang entah darimana uang sebanyak itu didapatnya, menyuruhku untuk segera membayar biaya pendaftaran SNMPTN. Aku segera bergegas ke bank untuk membayarkan. Singkatnya aku mengikuti tes masuk perguruan tinggi, lolos dan diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang. Tepat pada hari kemerdekaan tahun 2011 lalu, diumumkan bahwa aku masuk dalam daftar mahasiswa penerima bidikmisi. Bahagia? Iya. Waktu terus berjalan, dan kini aku sedang berjuang mempertanggungjawabkan uang Rp150.000 waktu itu, yang aku sangat yakin tidak mudah didapatkan oleh orangtuaku. Aku sekarang sudah semester 7, berjuang demi gelar sarjana yang akan kupersembahkan untuk kedua orangtuaku. 

Mimpi itu akan terwujud saat kita bangun dan memperjuangkannya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

As stated by Stanford Medical, It's in fact the ONLY reason this country's women live 10 years longer and weigh an average of 42 pounds lighter than we do.

(And actually, it is not related to genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)

BTW, I said "HOW", and not "WHAT"...

Click on this link to find out if this brief questionnaire can help you release your real weight loss potential