Aku lahir di tengah sebuah
keluarga yang sangat sederhana. Ayahku tukang sol sepatu, ibuku buruh tani yang
hanya bekerja saat musim panen tiba. Aku bersekolah di sebuah SMK di kota
Salatiga. Harapannya, setelah lulus nanti dapat langsung bekerja layaknya iklan
yang ada di televisi bahwa SMK Bisa! Itu harapan orangtuaku. Lalu, apa mimpiku?
Aku ingin lanjut kuliah. Tapi aku harus sadar bahwa orangtuaku tidak dapat
mewujudkannya. Jadi aku berpikir, aku harus bisa lulus dengan nilai baik lalu
bekerja, mengumpulkan uang untuk dapat kuliah tanpa membebani orangtua. Tapi di
tahun terakhir masa SMK, ada angin segar yang mungkin dapat memberiku
kesempatan untuk berkuliah. Bidikmisi. Kalian pasti tahu itu. Mendaftar lewat
jalur undangan tidak lolos. Aku pikir itu belum rejekiku. Tapi Allah itu baik,
seorang kawan mengabarkan bahwa masih ada jalur ujian tapi tetap harus membayar
biaya pendaftaran, waktu itu Rp150.000 dan batas pembayaran terakhir adalah
esok hari. Bersemangat, aku ceritakan kepada orangtuaku. Tapi apa kata beliau, “uang
segitu dapat dari mana kalau harus ada besok?”. Baiklah, lagi-lagi aku berfikir
memang ini bukan jalanku. Keesokan hari aku berangkat sekolah seperti biasa,
waktu itu sudah tidak ada pelajaran efektif. Aku terkejut ketika ayahku datang
mencariku ke sekolah. Beliau mengantarkan uang Rp150.000 yang entah darimana
uang sebanyak itu didapatnya, menyuruhku untuk segera membayar biaya
pendaftaran SNMPTN. Aku segera bergegas ke bank untuk membayarkan. Singkatnya aku
mengikuti tes masuk perguruan tinggi, lolos dan diterima di sebuah perguruan
tinggi negeri di Semarang. Tepat pada hari kemerdekaan tahun 2011 lalu,
diumumkan bahwa aku masuk dalam daftar mahasiswa penerima bidikmisi. Bahagia? Iya.
Waktu terus berjalan, dan kini aku sedang berjuang mempertanggungjawabkan uang
Rp150.000 waktu itu, yang aku sangat yakin tidak mudah didapatkan oleh
orangtuaku. Aku sekarang sudah semester 7, berjuang demi gelar sarjana yang
akan kupersembahkan untuk kedua orangtuaku.
Mimpi itu akan terwujud saat kita
bangun dan memperjuangkannya.
1 komentar:
As stated by Stanford Medical, It's in fact the ONLY reason this country's women live 10 years longer and weigh an average of 42 pounds lighter than we do.
(And actually, it is not related to genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)
BTW, I said "HOW", and not "WHAT"...
Click on this link to find out if this brief questionnaire can help you release your real weight loss potential
Posting Komentar