Minggu, 09 Maret 2014

(hanya) Sebuah Cerita : Puncak Bukan Segalanya



Banyak yang bertanya, apa sih tujuanmu mendaki gunung, kalau sudah sampai puncak ngapain ? Jawabanku simpel, untuk turun kembali. Tapi, mendaki gunung itu tidak sesimpel jawaban itu. Dibutuhkan persiapan yang benar-benar siap untuk melakukannya. Mulai dari kondisi fisik, mental, kesiapan alat, dan logistik, hingga kondisi cuaca. Meski fisik, mental dan alat sudah sangat siap, namun cuaca yang kita hadapi sedang tidak bersahabat, maka kegiatan ini tidak bisa kita lakukan. Ada baiknya kita tahu kondisi cuaca gunung yang akan kita daki. Hal ini sangat penting mengingat banyak pendaki yang meninggal di gunung karena nekat mendaki saat cuaca buruk. Alat yang kita miliki hanya buatan tangan manusia yang tidak akan mampu menandingi ciptaan Yang Maha Kuasa. Maka, secanggih apapun alat yang kita miliki janganlah sombong untuk menerjang Kuasa Allah SWT.

            Berbicara mengenai pendakian gunung, bagi saya puncak bukanlah tujuan utama. Yang paling utama adalah kita dapat kembali ke rumah dalah keadaan sehat. Karena biar bagaimanapun, rumah kita bukan di gunung. Memang kita pasti berkeinginan sampai ke puncak tertinggi sebuah gunung ketika kita melakukan pendakian. Namun jika kondisi tidak memungkinkan, lebih baik tidak melanjutkan perjalanan. Kondisi tidak memungkinkan itu antara lain, kondisi fisik kita yang tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan, salah satu alat kita yang tiba-tiba rusak, kondisi alam yang tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan perjalanan, seperti hujan badai, bisa juga karena salah satu teman rombongan kita ada yang cidera sehingga tidak mampu melanjutkan perjalanan. Kondisi-kondisi seperti ini sering diabaikan oleh pendaki yang hanya berambisi mencapai puncak. Hal ini sangat tidak disarankan.
            Ada salah seorang teman saya membagi pengalamannya ketika tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak trianggulasi gunung Merbabu. Dia bersama teman-temannya yang salah satunya adalah anak perempuan kebetulan baru pertama kali mendaki gunung, berniat mendaki gunung merbabu. Saat itu saya pun ikut berangkat bersama menuju basecamp (pos Pendakian) Thekelan. Sore itu itu dari Salatiga sudah turun hujan walaupun tidak terlalu deras. Sampai di Thekelan, hujan reda. Teman saya ini memutuskan untuk mulai pendakian jam 8 malam. Saat itu dia juga mengajak saya untuk ikut, namun saya menolak karena memang dari awal tujuan saya adalah hanya ingin menginap di basecamp saja. Semakin petang, gerimis mulai turun hingga jam 8 malam, waktu yang sudah ditentukan untuk memulai pendakian. Akhirnya mereka nekat melakukan pendakian dengan berbekal jas hujan plastik yang mereka kenakan.
            Semakin malam, hujan semakin deras, bahkan disertai dengan angin. Dalam pikiran saya, apa yang terjadi dengan teman-teman saya yang sedang dalam perjalanan itu. Karena keadaan di basecamp pun hujan sangat deras dan angin juga bertiup sangat kencang. Hanya bisa berharap semoga teman-teman saya memilih berhenti dan tidak terjadi apa-apa.
            Paginya, setelah bangun tidur saya melihat keadaan di luar basecamp, ternyata cukup cerah. Kemudian setelah agak siang, teman-teman saya sudah terlihat kembali ke basecam lagi. Karena ingin tahu, saya bertanya apakah yang terjadi semalam. Teman saya mulai bercerita. Awalnya ragu untuk melakukan pendakian ini, namun karena teman perempuannya yang belum pernah mendaki memaksa untuk pergi, jadi mereka pergi. Ternyata mereka hanya sampai ke pos 2 . Sampai di sana hujan semakin deras dan mereka memutuskan untuk beristirahat. Tanpa tenda, tanpa alat tidur seperti sleeping bag, mereka hanya mengandalkan gubug kecil yang memang ada di pos itu dan alas jas hujan dan ponco yang dimiliki, serta jaket yang dimiliki mereka mencoba melawan dingin dan berusaha tidur. Hingga pagi tiba, akhirnya memutuskan untuk kembali turun, karena keadaan teman perempuannya yang sudah kedinginan semalaman.
            Begitulah, mungkin keputusan yang baik yang diambilnya, namun jauh lebih baik jika dari awal tidak melakukan pendakian. Karena pengalaman seperti itu adalah pengalaman yang saya sendiri tidak pernah inginkan. Walaupun saya pernah mengalaminya. Waktu itu pertama kali saya mendaki gunung ungaran.
            Bulan puasa tahun 2010, saya bersama 9 orang teman saya berangkat. Ketika summit attack hujan turun walaupun tidak terlalu deras tapi disertai angin. Saat itu kami tidak mungkin berhenti, karena tempanya tidak memungkinkan untuk beristirahat, tidak ada tempat datar. Dengan kondisi kami yang sudah basah, akhirnya perjalanan dilanjutkan. Sampai puncak, kabut cukup pekat, sehingga jarak pandang tidak terlalu jauh. Dengan tubuh yang agak mengigil, tenda berhasil kami dirikan. Bersamaan dengan berdirinya tenda kami, hujan pun reda. Bintang-bintang bermunculan menghiasi langit malam itu.
            Karena jam sudah menunjukkan waktu sahur, kami segera menyiapkan santap sahur kami dan segera menghabisakan hidangan sahur kami. Selesai makan, kami mengambil tempat mesing-masing untuk tidur dan beristirahat. Karena cuaca malam itu sangat indah, saya dan 3 orang teman saya tidur di atas ponco sebagai alas, berselimut sleeping bag, dan beratepkan bintang-bintang. Pengalaman yang tak terlupakan, setelah menerjang hujan dan angin sebelumnya. Hingga matahari terbit cuaca cerah sampai kami berada di kawasan Candi Gedong Songo, karena kami tidak kembali melewati jalur saat kami naik.
            Menarik, itu hanya pengalaman menerjang hujan yang sebaiknya tidak dilakukan, apa lagi kalau peralatan kita tidak mendukung atau tidak punya. Sekali lagi, puncak bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah kita bisa kembali ke rumah dengan selamat. Mengingat akhir-akhir ini banyak pendaki yang meninggal di gunung. Kita harus siap segala hal yang diperlukan dalam pendakian. Dan jangan melanggar apa yang sudah ditetapkan oleh pihak pengelola, karena peraturan tersebut dibuat untuk melindungi kita, para pendaki yang ingin menikmati kuasaNYA.

Tidak ada komentar: