Banyak yang
bertanya, apa sih tujuanmu mendaki gunung, kalau sudah sampai puncak ngapain ?
Jawabanku simpel, untuk turun kembali. Tapi, mendaki gunung itu tidak sesimpel
jawaban itu. Dibutuhkan persiapan yang benar-benar siap untuk melakukannya.
Mulai dari kondisi fisik, mental, kesiapan alat, dan logistik, hingga kondisi
cuaca. Meski fisik, mental dan alat sudah sangat siap, namun cuaca yang kita
hadapi sedang tidak bersahabat, maka kegiatan ini tidak bisa kita lakukan. Ada
baiknya kita tahu kondisi cuaca gunung yang akan kita daki. Hal ini sangat
penting mengingat banyak pendaki yang meninggal di gunung karena nekat mendaki
saat cuaca buruk. Alat yang kita miliki hanya buatan tangan manusia yang tidak
akan mampu menandingi ciptaan Yang Maha Kuasa. Maka, secanggih apapun alat yang
kita miliki janganlah sombong untuk menerjang Kuasa Allah SWT.
Berbicara
mengenai pendakian gunung, bagi saya puncak bukanlah tujuan utama. Yang paling
utama adalah kita dapat kembali ke rumah dalah keadaan sehat. Karena biar
bagaimanapun, rumah kita bukan di gunung. Memang kita pasti berkeinginan sampai
ke puncak tertinggi sebuah gunung ketika kita melakukan pendakian. Namun jika
kondisi tidak memungkinkan, lebih baik tidak melanjutkan perjalanan. Kondisi
tidak memungkinkan itu antara lain, kondisi fisik kita yang tidak mampu lagi
melanjutkan perjalanan, salah satu alat kita yang tiba-tiba rusak, kondisi alam
yang tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan perjalanan, seperti hujan badai,
bisa juga karena salah satu teman rombongan kita ada yang cidera sehingga tidak
mampu melanjutkan perjalanan. Kondisi-kondisi seperti ini sering diabaikan oleh
pendaki yang hanya berambisi mencapai puncak. Hal ini sangat tidak disarankan.
Ada
salah seorang teman saya membagi pengalamannya ketika tidak bisa melanjutkan
perjalanan menuju puncak trianggulasi gunung Merbabu. Dia bersama
teman-temannya yang salah satunya adalah anak perempuan kebetulan baru pertama
kali mendaki gunung, berniat mendaki gunung merbabu. Saat itu saya pun ikut
berangkat bersama menuju basecamp (pos Pendakian) Thekelan. Sore itu itu dari
Salatiga sudah turun hujan walaupun tidak terlalu deras. Sampai di Thekelan,
hujan reda. Teman saya ini memutuskan untuk mulai pendakian jam 8 malam. Saat
itu dia juga mengajak saya untuk ikut, namun saya menolak karena memang dari
awal tujuan saya adalah hanya ingin menginap di basecamp saja. Semakin petang,
gerimis mulai turun hingga jam 8 malam, waktu yang sudah ditentukan untuk
memulai pendakian. Akhirnya mereka nekat melakukan pendakian dengan berbekal
jas hujan plastik yang mereka kenakan.
Semakin
malam, hujan semakin deras, bahkan disertai dengan angin. Dalam pikiran saya,
apa yang terjadi dengan teman-teman saya yang sedang dalam perjalanan itu.
Karena keadaan di basecamp pun hujan sangat deras dan angin juga bertiup sangat
kencang. Hanya bisa berharap semoga teman-teman saya memilih berhenti dan tidak
terjadi apa-apa.
Paginya,
setelah bangun tidur saya melihat keadaan di luar basecamp, ternyata cukup
cerah. Kemudian setelah agak siang, teman-teman saya sudah terlihat kembali ke
basecam lagi. Karena ingin tahu, saya bertanya apakah yang terjadi semalam.
Teman saya mulai bercerita. Awalnya ragu untuk melakukan pendakian ini, namun
karena teman perempuannya yang belum pernah mendaki memaksa untuk pergi, jadi
mereka pergi. Ternyata mereka hanya sampai ke pos 2 . Sampai di sana hujan
semakin deras dan mereka memutuskan untuk beristirahat. Tanpa tenda, tanpa alat
tidur seperti sleeping bag, mereka hanya mengandalkan gubug kecil yang memang
ada di pos itu dan alas jas hujan dan ponco yang dimiliki, serta jaket yang
dimiliki mereka mencoba melawan dingin dan berusaha tidur. Hingga pagi tiba,
akhirnya memutuskan untuk kembali turun, karena keadaan teman perempuannya yang
sudah kedinginan semalaman.
Begitulah,
mungkin keputusan yang baik yang diambilnya, namun jauh lebih baik jika dari
awal tidak melakukan pendakian. Karena pengalaman seperti itu adalah pengalaman
yang saya sendiri tidak pernah inginkan. Walaupun saya pernah mengalaminya.
Waktu itu pertama kali saya mendaki gunung ungaran.
Bulan
puasa tahun 2010, saya bersama 9 orang teman saya berangkat. Ketika summit attack hujan turun walaupun tidak
terlalu deras tapi disertai angin. Saat itu kami tidak mungkin berhenti, karena
tempanya tidak memungkinkan untuk beristirahat, tidak ada tempat datar. Dengan
kondisi kami yang sudah basah, akhirnya perjalanan dilanjutkan. Sampai puncak,
kabut cukup pekat, sehingga jarak pandang tidak terlalu jauh. Dengan tubuh yang
agak mengigil, tenda berhasil kami dirikan. Bersamaan dengan berdirinya tenda
kami, hujan pun reda. Bintang-bintang bermunculan menghiasi langit malam itu.
Karena
jam sudah menunjukkan waktu sahur, kami segera menyiapkan santap sahur kami dan
segera menghabisakan hidangan sahur kami. Selesai makan, kami mengambil tempat
mesing-masing untuk tidur dan beristirahat. Karena cuaca malam itu sangat
indah, saya dan 3 orang teman saya tidur di atas ponco sebagai alas, berselimut
sleeping bag, dan beratepkan bintang-bintang. Pengalaman yang tak terlupakan,
setelah menerjang hujan dan angin sebelumnya. Hingga matahari terbit cuaca
cerah sampai kami berada di kawasan Candi Gedong Songo, karena kami tidak
kembali melewati jalur saat kami naik.
Menarik,
itu hanya pengalaman menerjang hujan yang sebaiknya tidak dilakukan, apa lagi
kalau peralatan kita tidak mendukung atau tidak punya. Sekali lagi, puncak
bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah kita bisa kembali ke rumah dengan
selamat. Mengingat akhir-akhir ini banyak pendaki yang meninggal di gunung.
Kita harus siap segala hal yang diperlukan dalam pendakian. Dan jangan
melanggar apa yang sudah ditetapkan oleh pihak pengelola, karena peraturan
tersebut dibuat untuk melindungi kita, para pendaki yang ingin menikmati
kuasaNYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar