Menikah
adalah ciri seorang pemberani, enggan menikah menunjukkan kepengecutan.
Bukti Tanggung Jawab
Mengapa
menikah dapat melesatkan potensi diri? Karena berani menikah merupakan bukti
manusia pemberani. Berani menikah merupakan bukti manusia bertanggungjawab.
Berani menikah berarti berani mempertanggungjawabkan apa yang kau perbuat
kepada seseorang yang awalnya bukan mahram bagimu.
Lain
halnya dengan pacaran. Pacaran adalah bukti kepengecutan. Atau menurut istilah
pemasaran, over promise but under deliver,
obral janji tapi sedikit bukti. Inginnya berduaan, berboncengan, saling
sentuhan, bahkan menginginkan yang lebih dari itu namun enggan ketika diminta
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ketika diminta menafkahi, enggan. Ketika
hamil, masing-masing juga enggan menerima. Si laki-laki enggan brtanggungjawab
dan si wanita pun enggan untuk melahirkan anaknya karena merasa malu.
Akibatnya, banyak aborsi dimana-mana. Ingin nikmat tapi tidak mau risiko. Apa
itu bukan sebuah kepengecutan? Istilah pepatah Jawa, gelem nangkane ora gelem tlutuhe.
Apa
pernah engkau menjumpai seseorang yang berpacaran keudian biaya hidupnya
ditanggung oleh pacarnya? Biaya kuliah, biaya hidup, pulsa dan semacamnya
menjadi tanggungan pacarnya? Nonsense.
Biaya hidup dan kebutuhan masih ditanggung orang tua masing-masing. Kalaupun
sama-sama bekerja, juga belum seratus persen saling menanggung.
Pacaran
adalah tantangan yang sifatnya menipu dan palsu,tantangan yang hanya dilakukan
oleh manusia pengecut. Sebaliknya, berani menikah adalah bukti manusia
pemberani dan bertanggung jawab. Umar bin Khatab ra pernah menyindir seorang
laki-laki yang mampu namun enggan menikah dengan dua kemungkinan. Pertama,
diragukan kelaki-lakiannya. Kedua, sering berbuat maksiat.
Menikah
adalah bukti tanggungjawab. Ketika tanggungjawab sudah terpikul dipundak,
konsekuensi sebagai suami adalah siap menanggung nafkah keluarga. Sebagai istri
juga siap dengan konsekuensinya, yaitu hidupnya tidak akan sama seperti halnya
ketika masih sendiri. Apalagi ketika nanti menjadi seorang ibu, konsekuensinya
pun bertambah berat. Namun, dari situlah engkau akan banyak belajar. Seorang
laki-laki belajarn menjadi kepala keluarga dan seorang istri menjadi kepala
rumah tangga. Seorang laki-laki belajar menjadi pemimpin dan seorang wanita
menjadi yang dipimpin. Allah SWT menyatakan :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An Nisa : 34)
Belajar
bertanggungjwab akan menjadikan potensi dirimu melesat. Oleh karena itu, jangan
heran bila ada yang sebelum menikah belum mampi menghidupi diri sendiri,
setelah menikah justru bisa mandiri. Seperti seorang sahabat saya yang berhasil
melawan keraguannya untuk menikah. Setelah menikah, komentar yang saya dengar
darinya adalah “akhirnya… bisa juga”.
Ya,
akhirnya ia bisa menikah dan menghidupi keluarganya. Memang, semula terasa
berat. Bayangan-bayangan kelabu, yaitu harus menanggung biaya hidup keluarga
seakan membebat di kepala.belum lagi kalau memiliki anak. Namun, ternyata
sungguh di luar dugaan, sahabat saya ini tidak mengalami perbedaan yang
berarti. Dalam artian, sebelum menikah, rezeki yang dimiliki bisa untuk
mencukupi kebutuhan dirinya dan setelah menikah, rezekinya juga cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia tidak merasa kekurangan, bahkan sedikit demi
sedikit ia mulai merangkak. Di rumahnya sekarang sudah dibuka warung kelontong
kecil-kecilan.
Subhanallah!
Dimanakah
lagi keraguan bahwa rezeki memang milik Allah SWT semata?
Menikah
akan menantangmu menjadi pribadi yang kuat dan bertanggung jawab, menanggung
hidup keluargamu, enggan lagi berleha-leha, apalagi membuang-buang waktu dengan
percuma. Menikah juga akan menjadikanmu lebih kuat dan tangguh. Kalau awalnya
belum terbiasa dengan panas matahari, ketika sudah menikah, saat kebutuhan
keluarga menuntut harus dipenuhi, terik matahari pun akan siap untuk kau
hadapi. Awalnya memikul beban 10 kilo di pundak terasa berat karena belum
terbiasa. Namun, setelah menikah, ketika pekerjaan dan tuntunan hidup
mengharuskannya demikian, tiada lagi alasan kecuali berupaya akan membiasakan
diri.
Betul
kan?
Sungguh
luar biasa pengaruh menikah dalam pembentukan kepribadian sekaligus pelesatan
potensi diri seseorang. Bagi yang berpikiran maju, menikah dapat menjadi batu
loncatan dan pelecut semangat untuk meningkatkan kapabilitas dirinya.
Sebaliknya, bagi yang berpikiran sempit dan pemalas, menikah tidak akan melesatkan
potensi diri sama sekali. Apalagi kalau setelah menikah, biaya hidup ditanggung
oleh orang tua atau mertua dengan tanpa ada rasa malu, bermuka tembok dan
berkulit badak. Ketika kondisinya semacam ini, potensi diri akan sulit untuk
melesat karena hilangnya tantangan-tantangan yang seharusnya dihadapi.
Oleh
karena itu, kalu sudah siap menikah, menikahlah. Kemudian jadilah pemberani
yang bertanggungjawab, bukan pengecut yang pemalas. Jangan pula berbangga diri
menjadi bujangan karena bagaimanapun jauh lebih nikmat memiliki pasangan.
Dengan syarat, menikah untuk bertanggungjwab dan bukan sekedar menikah kemudian
justru lari dari tanggung jawab.
Berani Berkembang
Berani
menikah artinya berani berkembang, berani untuk melesat potensi dirimu.
Walaupun demikian, melesat atau tidaknya tergantung dari individu yang
bersangkutan. Ada tiga tipe pelesatan, meminjam istilah Paul G. Stoltz dalam Adversity Quotient, yakni tipe Quitter (mereka yang berhenti), Champer (mereka yang berkemah) dan Climber (mereka yang mendaki). Ketika
engkau menikah ternyata potensimu tidak melesat alias sama saja seperti halnya
ketika belum menikah, itu berarti engkau termasuk tipe Quitter. Sedangkan bila engkau ada upaya untuk berkembang setelah
menikah, engkau bisa termasuk tipe Champer
ataupun Climber.
Ketika
tidak berkembang, tidak melesat potensi dirimu, jangan menyalahkan menikah.
Tetapi, salahkanlah dirimu sendiri. Bukankah ketika menikah, amanah juga
bertambah? Apalagi ketika memiliki anak, bukankah juga ada kewajiban untuk
memelihara dan mendidiknya? Kalau tempaan itu tidak menjadikan potensi
dirimumelsat keluar, engkau hanya menjadi manusia yang rugi. Rugi karena tidak
berkembang, padahal kesulitan-kesulitan telah datang menghadang. Mengapa bisa
seperti itu? Karena engkau memilih menjadai beban bagi orang lain daripada
harus berupaya mandiri atau karena engkau mudah berpuas diri sehingga kalaupun
melesat hanya sebatas menjadi Champer,
bukan Climber.
Hal
ini tidak melulu dialami oleh anak-anak orang miskin, tetapi bisa jadi justru
anak orang kaya lebih banyak mengalaminya. Pernahkah engkau menjumpai pasangan
suami istri yang nikmat hidupnya dengan biaya dari orang tua? Malas utnuk
mencari nafkah dengan alasan orang tua yang menyubsidi karena mereka kaya?
Itulah contoh pernikahan yang menjadikan pelakunya hanya menjadi manusia tipe Quitter. Pernikahan tidak menjadikannya
berubah menjadi tipe Champer apalagi Climber karena dia enggan menanggung
konsekuensi-konsekuensi dari pernikahan yang dijalaninya. Silakan, engkau
memilih menjadi manusia tipe Quitter,
Champer, atau Climber!
Berani Beda
Orang
yang berani menikah berarti berani beda. Disaat teman-temannya yang lain asyik
dengan pacarnya, ia memilih asyik dengan dengan suami atau istrinya. Disaat
orang lain asyik bersentuhan kulit dan menuai dosa, ia memilih bersentuhan
kulit dan berpahala. Disaat orang lain memilih menjadi pengecut, ia berani
memilih menjadi pemberani. Disaat orang lain menjadi pecundang yang enggan
bertanggung jawab, ia berani menjadi manusia kredibel yang bertanggung jawab
atas tindakannya. Sungguh beda dan beda, terutama sekali kalau menikahnya
ketika kuliah saat beban studi masih menghadang di hadapan. Pengaruhnya pasti
luar biasa, tantangan dan kesulitan yang semakin hebat itu menjadikan pelesatan
potensi dirimu pasti juga lebih dahsyat. Insya
Allah.
Sumber : Al-Akhwani, Fadlan. 2010. Find Your Potency!. Solo : Indiva Media
Kreasi (102-107)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar