Kamis, 11 Agustus 2016

Menikah !

Menikah adalah ciri seorang pemberani, enggan menikah menunjukkan kepengecutan.

Bukti Tanggung Jawab
Mengapa menikah dapat melesatkan potensi diri? Karena berani menikah merupakan bukti manusia pemberani. Berani menikah merupakan bukti manusia bertanggungjawab. Berani menikah berarti berani mempertanggungjawabkan apa yang kau perbuat kepada seseorang yang awalnya bukan mahram bagimu.
Lain halnya dengan pacaran. Pacaran adalah bukti kepengecutan. Atau menurut istilah pemasaran, over promise but under deliver, obral janji tapi sedikit bukti. Inginnya berduaan, berboncengan, saling sentuhan, bahkan menginginkan yang lebih dari itu namun enggan ketika diminta mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ketika diminta menafkahi, enggan. Ketika hamil, masing-masing juga enggan menerima. Si laki-laki enggan brtanggungjawab dan si wanita pun enggan untuk melahirkan anaknya karena merasa malu. Akibatnya, banyak aborsi dimana-mana. Ingin nikmat tapi tidak mau risiko. Apa itu bukan sebuah kepengecutan? Istilah pepatah Jawa, gelem nangkane ora gelem tlutuhe.

Apa pernah engkau menjumpai seseorang yang berpacaran keudian biaya hidupnya ditanggung oleh pacarnya? Biaya kuliah, biaya hidup, pulsa dan semacamnya menjadi tanggungan pacarnya? Nonsense. Biaya hidup dan kebutuhan masih ditanggung orang tua masing-masing. Kalaupun sama-sama bekerja, juga belum seratus persen saling menanggung.
Pacaran adalah tantangan yang sifatnya menipu dan palsu,tantangan yang hanya dilakukan oleh manusia pengecut. Sebaliknya, berani menikah adalah bukti manusia pemberani dan bertanggung jawab. Umar bin Khatab ra pernah menyindir seorang laki-laki yang mampu namun enggan menikah dengan dua kemungkinan. Pertama, diragukan kelaki-lakiannya. Kedua, sering berbuat maksiat.
Menikah adalah bukti tanggungjawab. Ketika tanggungjawab sudah terpikul dipundak, konsekuensi sebagai suami adalah siap menanggung nafkah keluarga. Sebagai istri juga siap dengan konsekuensinya, yaitu hidupnya tidak akan sama seperti halnya ketika masih sendiri. Apalagi ketika nanti menjadi seorang ibu, konsekuensinya pun bertambah berat. Namun, dari situlah engkau akan banyak belajar. Seorang laki-laki belajarn menjadi kepala keluarga dan seorang istri menjadi kepala rumah tangga. Seorang laki-laki belajar menjadi pemimpin dan seorang wanita menjadi yang dipimpin. Allah SWT menyatakan :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An Nisa : 34)
Belajar bertanggungjwab akan menjadikan potensi dirimu melesat. Oleh karena itu, jangan heran bila ada yang sebelum menikah belum mampi menghidupi diri sendiri, setelah menikah justru bisa mandiri. Seperti seorang sahabat saya yang berhasil melawan keraguannya untuk menikah. Setelah menikah, komentar yang saya dengar darinya adalah “akhirnya… bisa juga”.
Ya, akhirnya ia bisa menikah dan menghidupi keluarganya. Memang, semula terasa berat. Bayangan-bayangan kelabu, yaitu harus menanggung biaya hidup keluarga seakan membebat di kepala.belum lagi kalau memiliki anak. Namun, ternyata sungguh di luar dugaan, sahabat saya ini tidak mengalami perbedaan yang berarti. Dalam artian, sebelum menikah, rezeki yang dimiliki bisa untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan setelah menikah, rezekinya juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia tidak merasa kekurangan, bahkan sedikit demi sedikit ia mulai merangkak. Di rumahnya sekarang sudah dibuka warung kelontong kecil-kecilan.
Subhanallah!
Dimanakah lagi keraguan bahwa rezeki memang milik Allah SWT semata?
Menikah akan menantangmu menjadi pribadi yang kuat dan bertanggung jawab, menanggung hidup keluargamu, enggan lagi berleha-leha, apalagi membuang-buang waktu dengan percuma. Menikah juga akan menjadikanmu lebih kuat dan tangguh. Kalau awalnya belum terbiasa dengan panas matahari, ketika sudah menikah, saat kebutuhan keluarga menuntut harus dipenuhi, terik matahari pun akan siap untuk kau hadapi. Awalnya memikul beban 10 kilo di pundak terasa berat karena belum terbiasa. Namun, setelah menikah, ketika pekerjaan dan tuntunan hidup mengharuskannya demikian, tiada lagi alasan kecuali berupaya akan membiasakan diri.
Betul kan?
Sungguh luar biasa pengaruh menikah dalam pembentukan kepribadian sekaligus pelesatan potensi diri seseorang. Bagi yang berpikiran maju, menikah dapat menjadi batu loncatan dan pelecut semangat untuk meningkatkan kapabilitas dirinya. Sebaliknya, bagi yang berpikiran sempit dan pemalas, menikah tidak akan melesatkan potensi diri sama sekali. Apalagi kalau setelah menikah, biaya hidup ditanggung oleh orang tua atau mertua dengan tanpa ada rasa malu, bermuka tembok dan berkulit badak. Ketika kondisinya semacam ini, potensi diri akan sulit untuk melesat karena hilangnya tantangan-tantangan yang seharusnya dihadapi.
Oleh karena itu, kalu sudah siap menikah, menikahlah. Kemudian jadilah pemberani yang bertanggungjawab, bukan pengecut yang pemalas. Jangan pula berbangga diri menjadi bujangan karena bagaimanapun jauh lebih nikmat memiliki pasangan. Dengan syarat, menikah untuk bertanggungjwab dan bukan sekedar menikah kemudian justru lari dari tanggung jawab.

Berani Berkembang
Berani menikah artinya berani berkembang, berani untuk melesat potensi dirimu. Walaupun demikian, melesat atau tidaknya tergantung dari individu yang bersangkutan. Ada tiga tipe pelesatan, meminjam istilah Paul G. Stoltz dalam Adversity Quotient, yakni tipe Quitter (mereka yang berhenti), Champer (mereka yang berkemah) dan Climber (mereka yang mendaki). Ketika engkau menikah ternyata potensimu tidak melesat alias sama saja seperti halnya ketika belum menikah, itu berarti engkau termasuk tipe Quitter. Sedangkan bila engkau ada upaya untuk berkembang setelah menikah, engkau bisa termasuk tipe Champer ataupun Climber.
Ketika tidak berkembang, tidak melesat potensi dirimu, jangan menyalahkan menikah. Tetapi, salahkanlah dirimu sendiri. Bukankah ketika menikah, amanah juga bertambah? Apalagi ketika memiliki anak, bukankah juga ada kewajiban untuk memelihara dan mendidiknya? Kalau tempaan itu tidak menjadikan potensi dirimumelsat keluar, engkau hanya menjadi manusia yang rugi. Rugi karena tidak berkembang, padahal kesulitan-kesulitan telah datang menghadang. Mengapa bisa seperti itu? Karena engkau memilih menjadai beban bagi orang lain daripada harus berupaya mandiri atau karena engkau mudah berpuas diri sehingga kalaupun melesat hanya sebatas menjadi Champer, bukan Climber.
Hal ini tidak melulu dialami oleh anak-anak orang miskin, tetapi bisa jadi justru anak orang kaya lebih banyak mengalaminya. Pernahkah engkau menjumpai pasangan suami istri yang nikmat hidupnya dengan biaya dari orang tua? Malas utnuk mencari nafkah dengan alasan orang tua yang menyubsidi karena mereka kaya? Itulah contoh pernikahan yang menjadikan pelakunya hanya menjadi manusia tipe Quitter. Pernikahan tidak menjadikannya berubah menjadi tipe Champer apalagi Climber karena dia enggan menanggung konsekuensi-konsekuensi dari pernikahan yang dijalaninya. Silakan, engkau memilih menjadi manusia tipe Quitter, Champer, atau Climber!

Berani Beda
Orang yang berani menikah berarti berani beda. Disaat teman-temannya yang lain asyik dengan pacarnya, ia memilih asyik dengan dengan suami atau istrinya. Disaat orang lain asyik bersentuhan kulit dan menuai dosa, ia memilih bersentuhan kulit dan berpahala. Disaat orang lain memilih menjadi pengecut, ia berani memilih menjadi pemberani. Disaat orang lain menjadi pecundang yang enggan bertanggung jawab, ia berani menjadi manusia kredibel yang bertanggung jawab atas tindakannya. Sungguh beda dan beda, terutama sekali kalau menikahnya ketika kuliah saat beban studi masih menghadang di hadapan. Pengaruhnya pasti luar biasa, tantangan dan kesulitan yang semakin hebat itu menjadikan pelesatan potensi dirimu pasti juga lebih dahsyat. Insya Allah.


Sumber : Al-Akhwani, Fadlan. 2010. Find Your Potency!. Solo : Indiva Media Kreasi (102-107)

Tidak ada komentar: