Sekitar satu bulan yang lalu, saya banyak bertanya mengenai Pulau Sempu. Mulai dari
transportasi, biaya, dan perinjinannya. Namun jawaban yang saya dapatkan justru
bukan yang saya inginkan. Bagaimana tidak, bukan informasi yang saya tanyakan
yang saya dapatkan, melainkan himbauan agr tidak berkunjung ke pulau tersebut.
Mengapa? Kata mereka, Pulau Sempu itu bukan tempat wisata, Pulau Sempu itu
cagra alam yang dilindungi, Pulau Sempu sudah tidk bagus lagi karena banyak
sampah yang ditinggalkan pengunjungnya. Baiklah, saya terima jawaban itu semua.
Saya juga tidak mau menjadi bagian dari mereka yang tidak bertanggungjawab
dengan meninggalkan sampahnya di Pulau Sempu. Saya urungkan niat saya untuk
kesana
.
.
Setelah
berdiskusi dengan teman-teman mengenai jawaban yang saya terima tadi, dan niat
saya untuk membatalkan pergi ke Pulau Sempu, teman-teman justru berbalik
“menyerang” saya. Mereka tetap ingin melanjutkan rencana. Kata teman-teman
saya, kita bukan bagian dari mereka yang membuang sampah sembarangan, kita bisa
bawa pulang sampah kita masing-masing. Baiklah, saya merenung kembali. Kalau
dikir-pikir boleh juga, sambil melanjutkan rencana kesana, saya juga bisa
belajar dan membuktikan jawaban-jawaban yang saya terima di atas.
Akhirnya
keputusan sudah bulat. Kami berngkat malam itu dari stasiun Poncol Semarang
pukul 22.20 hingga sampai di Malang pukul 07.24 keesokan harinya. Kami
sempatkan sarapan di depan stasiun hingga pukul 09.00 kami melanjutkan perjalan
menuju Sendang Biru. Sendang Biru adalah pelabuhan untuk menyeberang menuju
Pulau sempu. Pukul 11.44 kami sampai ke Sendang Biru. Setelah mandi dan sholat,
perjalanan kami lanjutkan dengan menyeberang menuju pulau seluas 877 hektar,
Pulau Sempu. Sekitar 15 menit di atas perahu, sampailah kami di Pulau Sempu.
Sampah berserakan |
Baru
sampai kami sudah disambut oleh sampah yang berserakan di sekitar bangunan mirip
pos bertuliskan “BBKASDA Jawa Timur”. Kami segera melanjutkan perjalanan
memasuki hutan dengan dipandu oleh seorang guide. Semakin dalam kami memasuki
hutan, bayak yang saya temukan disana. Jalan setapak yang sangat jelas sering
dilewati oleh manusia. Juga pohon-pohon besar yang mungkin sudah berusia
puluhan bahkan ratusan tahun. Sayangnya pohon-pohon itu tak sedikit yang yang
penuh coretan dan sayatan. Mengerikan. Sepanjang jalur yang kami lewati memang
tidak banyak sampah yang kami temui. Setelah berjalan sekitar satu jam
sampailah kami di Segara Anakan, tempat kami berhenti untuk menghabiskan waktu
disini.
Puluhan Tenda Berdiri Di pinggir Pantai Segara Anakan |
Memang
benar, tak seharusnya aku disini, menjadi bagian dari mereka yang tak mau
peduli dengan keindahan ciptaanNya. Meskipun aku berusaha sebaik-baiknya tidak
menodai tempat ini. Harusnya tempat ini sepi dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan kurang bersyukur itu. Tapi kenyataannya mereka disini
bagaikan perkampungan yang seharusnya ada di tempat lain, bukan disini. Seketika
itu badmood langsung menyerangku. Rasanya tak ingin menyentuh air di depan
sana. Dan benar, sampai akhir waktu kami di sana, saya tidak membasahi tubuh
saya dengan air laut.
Pemandangan indah yang harus dijaga kelestariannya |
Seharusnya
kita jangan ke Pulau Sempu jika tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang kita
miliki, termasuk sampah. Sampah itu yang membawa kita, jadi kita juga yang
bertanggungjawab untuk membuangnya. Bukan ditinggalkan di sembarang tempat yang
tidak semestinya. Mari kita ke Pulau Sempu, mari kita bersihkan pantai dan
lautnya dari sampah dan kotoran yang ada disana. Kasihan anak cucu kita kelak
jika hanya mendengar cerita keindahannya, tetapi kenyataannya parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar